Biarkan Aku Jadi Manusia Biasa

Adhisya
2 min readJul 9, 2024

--

Photo by Alexei Scutari on Unsplash

“Kau harus merasakan cinta sesungguhnya, baru perpisahan akan terasa menyedihkan." - Baek Yi Jin

Aku masih ingat masa masa mondok dulu. Kehilangan barang sudah jadi makananku sehari-hari. Aku si cuek bebek ini tak terlalu ambil pusing dengan kehilangan itu. Senin hilang gayung, Selasa hilang ember, Rabu hilang mukena, Minggu hilang waktu dengan orang tua. Di sana semuanya bisa terjadi. Entah mengapa, bagiku kehilangan adalah hal yang seharusnya terjadi. Yang hilang ya biarlah hilang. Mungkin sudah waktunya "kita" Berpisah. Garis waktuku untuk menjaganya ya hanya sampai di sana.

Beberapa tahun setelahnya, aku menonton drama berjudul Twenty Five Twenty One. Dalam salah satu scene-nya, Na Hee Do (pemeran utama wanita) bercerita tentang perpisahan dengan pasangannya dulu yang tidak meninggalkan rasa sakit sama sekali. Baek Yi Jin (pemeran utama laki-laki) menanggapi "Kau harus merasakan cinta sesungguhnya, baru perpisahan akan terasa menyedihkan."

Kala itu, aku tak sependapat dengan sepenggal kalimat itu. Aku bertanya-tanya, mengapa orang terlalu melebih-lebihkan rasa sakit atas perpisahan? Mengapa mereka tidak mampu untuk ikhlas saja? Bukankah semuanya sudah Allah atur juga?

Riuh kepalaku menghakimi manusia-manusia yang sebenarnya tidak ada salahnya. Apakah bersedih atas suatu perpisahan adalah sebuah dosa? Atau apakah bersedih atas kehilangan barang bisa buat kita masuk neraka? Kan enggak juga.

Hingga tiba giliranku menghadapi perpisahan menyakitkan itu. Perpisahan yang ternyata merenggut setengah dari aku, yang bahkan aku tak tahu apa. Hari itu, saat segalanya usai. Bukan hanya lantunan lagu sendu yang mengiang berulang, ada ratusan pertanyaan negatif atas diri yang melayang-layang tak terkendali. Aku yang cuek bebek itu akhirnya lumpuh. Kebingungan. Bukankah biasanya kehilangan tidak pernah menoreh luka seperti ini?

Sama seperti Na hee Do, yang baru sadar arti kehilangan setelah perpisahannya dengan Baek Yi Jin, aku juga akhirnya terpaksa paham juga. Di sela isak tangis yang meyesakan, aku akhirnya baru utuh menjadi manusia. Manusia biasa. Manusia normal yang punya rasa bergantung, manusia yang tak selalu bisa berdiri sendirian, manusia yang menangisi sebuah kehilangan.

Entah bagaimana kehilangan terbesar itu justru mengantarkan aku ke satu pemahaman baru yang utuh. "Aku adalah manusia, merangkap hamba yang rapuh. Hamba yang tentunya butuh sandaran pada Zat yang lebih besar."

Hamba rapuh ini akhirnya mau mengaku. Menurunkan sombong yang dulu ia dekap kuat. Dalam satu hantaman, aku terpental jauh ke dalam jurang. Tergeletak aku di dasarnya, memandang langit yang hari itu, baru kusadari begitu tinggi.

Di tengah kegelapan, aku hanya bisa memandang langit, lantas menyadari banyak hal. Aku berefleksi. Ternyata ada hal yang lebih tinggi, agung, dan lebih berhak untuk sombong. Aku hanya sebutir debu kecil yang sok-sok an tak butuh apapun hingga acuh saat bertemu perpisahan.

Maka mulai saat ini, aku berjanji akan terus menjadi manusia. Manusia yang mau mengakui bahwa ia bisa rapuh dan mau menangisi sekecil apapun momen kehilangan.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Lost and Found”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Adhisya

Part time story teller ✨ Find me on Tiktok & Instagram: @a_dhisya ❤